Ketika Pertanyaan Dianggap Lebih Berbahaya Daripada Keracunan Massal - INVESTIGASI TOP

Senin, 29 September 2025

Ketika Pertanyaan Dianggap Lebih Berbahaya Daripada Keracunan Massal


Pekanbaru, Investigasi Top Dalam sebuah republik demokrasi, mana yang seharusnya lebih ditakuti oleh penguasa: bakteri dalam nasi atau pertanyaan kritis dari wartawan?

Pertanyaan filosofis itu mendadak menjadi sangat relevan ketika Diana Valencia, reporter CNN Indonesia, memutuskan untuk melontarkan pertanyaan sederhana kepada Presiden Prabowo di Halim Perdana kusuma. Subjeknya: keracunan massal program Makanan Bergizi Berimbang (MBG) yang telah menjangkiti ribuan siswa.

Respons Istana? Bukan penjelasan komprehensif, melainkan pencabutan kartu identitas liputan Diana malam itu juga. Pertanyaan jurnalis muda itu, rupanya, dianggap lebih berbahaya daripada wabah keracunan itu sendiri.

Ironi di Lapangan: Angka yang Bertabrakan

Sementara Diana dipinggirkan dari peliputan Istana, ribuan anak di Bandung Barat, Banggai, dan daerah lain masih berjuang melawan sakit perut. Data berbicara dengan nada getir: JPPI mencatat 6.452 korban hingga September, INDEF melaporkan lebih dari 4.000 kasus dalam delapan bulan. Namun, dari mulut Presiden, angka itu menyusut drastis menjadi "di bawah 200 orang."

Di tengah tabrakan data ini, yang jelas-jelas menderita adalah anak-anak di pelosok yang seharusnya sedang menimba ilmu, bukan antre di puskesmas.

Bukan Hanya Soal Kartu, Tapi Kemerdekaan Pers

Langkah Istana ini tidak berlalu tanpa kritik. Dewan Pers, lembaga independennya insan pers, angkat suara. Mereka menegaskan bahwa pencabutan kartu pers bukan sekadar urusan administratif, melainkan bentuk nyata penghalangan kerja jurnalistik dan sebuah ancaman terhadap kemerdekaan pers.

Sederhananya, pesan dari Dewan Pers adalah: jangan bungkam suara kritis hanya karena terasa tidak nyaman di telinga.

Respon Penguasa dan Absurditas yang Menganga

Jawaban Sekretariat Negara melalui Mensesneg Pratisto Hadi terasa klise: "Mencari jalan keluar terbaik," Solusi terbaik untuk apa? Untuk mengembalikan akses jurnalis atau sekadar memindahkan mereka yang kritis ke daftar hitam?

Di saat yang sama, kebijakan darurat dikerahkan: dapur MBG ditutup, alat makan disterilkan, polisi dilibatkan. Namun, langkah pertama yang paling cepat dilakukan Istana justru mengunci suara yang mempertanyakan program tersebut.

Refleksi Akhir: Prioritas yang Terbalik

Drama ini meninggalkan kita dengan sebuah gambaran yang absurd. Perut anak-anak seolah menjadi laboratorium uji coba kebijakan, sementara wartawan yang bertugas mengawal dibungkam.

Idam lanun ( Sekjen AMI )
Comments


EmoticonEmoticon

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done