Dumai, investigasi top. Kamis, 1 Oktober 2025 – Sebuah pondok pesantren di Kota Dumai diduga menjalankan sistem eksploitasi anak secara terstruktur dan masif, mengatas namakan pendidikan.
Di balik jargon membentuk "anak siap pakai," puluhan santri usia remaja menjadi tenaga kerja paksa untuk pembangunan fisik, termasuk proyek Dapur MBG, tanpa upah sepeser pun.
Investigasi tim jurnalis yang menyamar selama beberapa pekan berhasil mengungkap praktik kelam di Pondok Modern AQ, yang berlokasi di Jalan Parit Sadak, Kelurahan Bagan Keladi, Dumai Barat.
Pimpinan pondok, Kiyai RF, yang juga Ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren Kota Dumai, dengan terang benderang mengakui sistem tersebut.
Pekerja Paksa Berjubah Santri
Dalam rekaman wawancara terselubung, Kiyai RF membenarkan seluruh pembangunan fisik pondok, mulai dari pengecoran gedung hingga instalasi listrik yang berbahaya, dikerjakan oleh santri putra dan putri.
Bukti video yang berhasil diabadikan menunjukkan para santri melakukan pengecoran jalan menuju Dapur MBG hingga larut malam, di bawah guyuran hujan.
"Semua yang membuat bangunan di pondok maupun di dapur MBG ini dan instalasi listriknya adalah santri," ujar Kiyai RF dengan lugas.
Ketika ditanya soal pemberian upah, justru jawabannya mengagetkan. "Santri ini tidak ada kita upah karena diajar untuk ikhlas," katanya, menjadikan konsep 'ikhlas dan didikan' sebagai tameng untuk legalisasi pemerasan tenaga anak di bawah umur.
Eksploitasi Berlapis dan Kondisi yang Memprihatinkan
Eksploitasi tidak hanya terjadi di sektor fisik yang berat, tetapi santri putri NA asal Kampar juga di paksa bekerja di bagian administrasi kantor hingga pukul 02.00-03.00 dini hari.
Aturan yang diterapkan pun kejam: mereka di wajibkan mengganti uang pondok yang hilang dari kas mereka sendiri.
“Pernah kemarin mengganti ada dua kali uang yang hilang pada hari sebelumnya,” aku Kiyai RF, yang menyebut ini sebagai bagian dari 'pendidikan tanggung jawab'.
Ironisnya, untuk 'pendidikan' model paksa seperti ini, orang tua dikenai iuran sebesar Rp 700.000 per bulan, belum termasuk biaya ekstrakurikuler.
Padahal, kondisi internal pondok yang berdiri enam tahun lalu ini jauh dari kata layak.
Investigasi menemukan blok-blok tempe busuk di dapur yang diklaim sebagai konsumsi santri, serta kamar tidur yang tidak memadai.
Sikap Otoriter dan Pembiaran Yayasan
Sikap pimpinan pondok terkesan arogan dan menantang.
Saat disinggung potensi protes orang tua, Kiyai RF berani menantang,“ Silakan bawa pulang anaknya, karena keluar dari pondok ini, anak siap pakai.” ujarnya dengan lantang.
Pembenaran serupa datang dari Ketua Yayasan DM. Ia menganggap praktik mempekerjakan santri untuk semua urusan pondok adalah hal yang wajar.
“Pondok itu di mana-mana semuanya yang ngerjain santri,” ujar Ketua Yayasan DM.
Panggilan Tanggung Jawab untuk Otoritas
dengan adanya pengakuan langsung dari pelaku, kasus ini telah bergeser dari dugaan menjadi sebuah kenyataan pahit, yang membutuhkan tindakan segera.
1. Kemenag Kota Dumai: Didesak untuk melakukan inspeksi mendadak (sidak), mencabut izin operasional, dan mengevaluasi model pendidikan yang melanggar hak anak.
2. KPAI dan DP3A Kota Dumai: Harus segera turun tangan memberikan perlindungan dan pendampingan psikologis bagi 70 santri yang menjadi korban.
3. Unit PPA Polres Dumai: Memiliki dasar kuat untuk memulai penyelidikan pidana atas pelanggaran UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal eksploitasi.
4. Dinas Ketenagakerjaan Kota Dumai: Wajib memeriksa pelanggaran berupa mempekerjakan anak pada pekerjaan berbahaya (konstruksi dan listrik) dan pada jam malam.
Laporan ini membuka tabir sisi gelap dunia pesantren yang disalahgunakan.
Istilah "ikhlas" Pendidikan" dan "siap pakai" tidak boleh menjadi legitimasi untuk memperbudak anak-anak.
(Rochi/Team)