Kuansing, Riau, Investigasitop — Sebuah ledakan konflik tengah membara di Desa Sukamaju, Kecamatan Singingi Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi. Laporan pidana telah diajukan ke Polda Riau. Isinya: dugaan penyelewengan pengelolaan lahan sawit milik masyarakat desa seluas 30 hektare yang diduga dikendalikan tanpa transparansi oleh aparat desa. Di tengah gejolak, Kepala Desa Sukamaju, Agus Supriyanto, memilih membantah. Tapi fakta di lapangan justru mengarah pada satu pertanyaan besar: ke mana hasil kebun itu mengalir?
๐ Awal Mula Sengkarut: Lahan Plasma, Dana Menguap
Lahan yang dipersoalkan merupakan bagian dari kebun plasma dari PT Adimulya Agro Lestari, sebuah perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di wilayah Singingi Hilir. Berdasarkan keterangan warga dan dokumen yang dihimpun oleh kuasa hukum warga, Bambang Keristian, SH, lahan seluas 30 hektare tersebut semestinya menjadi hak kelompok tani “Maju Bersama” di bawah koordinasi KUD Margodadi.
Namun, selama bertahun-tahun, warga mengaku tidak mengetahui secara pasti berapa hasil kebun yang diterima dan siapa yang mengelolanya. Tidak ada laporan keuangan. Tidak ada musyawarah desa. Bahkan tidak ada transparansi mengenai hasil per bulan maupun aliran dana.
> “Kami hanya tahu nama kelompoknya. Tapi soal berapa hasilnya, ke mana uangnya—tidak ada yang tahu. Kami seperti dibutakan,” ungkap salah satu warga, yang namanya minta disamarkan, kepada tim investigasi.
๐ผ Pernyataan Kades Jadi Bukti Awal
Uniknya, menurut Bambang Keristian, pernyataan langsung dari Kades Agus Supriyanto sendiri justru menjadi salah satu dasar laporan ke Polda.
> “Pak Kades sendiri pernah menyampaikan kepada wartawan, hasil kebun cuma 1,5 juta rupiah per bulan, dan sudah habis dipakai untuk biaya perjuangan,” jelas Bambang.
Pernyataan itulah yang menjadi batu loncatan gugatan. Bagi warga, angka 1,5 juta rupiah per bulan untuk 30 hektare sawit adalah irasional, bahkan bisa dianggap sebagai bentuk pengelolaan yang tidak sah.
> “Ini bukan angka logis. Kalau benar 1,5 juta per bulan, kemana uangnya selama bertahun-tahun? Apakah semua sudah habis untuk biaya perjuangan? Perjuangan apa?” tanya Bambang, retoris.
⚖️ Kades Membantah, Tapi Tidak Menjawab Substansi
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Desa Sukamaju, Agus Supriyanto, kepada sejumlah media menyatakan bahwa tudingan tersebut keliru dan mencemarkan nama baik. Ia menyebut lahan yang dimaksud hanya 20 hektare, bukan 30, dan merupakan milik kelompok tani yang dikelola koperasi, bukan pemerintah desa.
Namun, pernyataan Agus dinilai tidak menjawab substansi persoalan.
> “Silakan kalau bilang cuma 20 hektare. Tapi apakah uangnya dilaporkan? Kenapa tidak pernah dilakukan Musdes terbuka? Kenapa ketika warga minta penjelasan, malah menghindar?” sindir Bambang.
Lebih lanjut, kuasa dari pihak Kepala Desa sempat menemui Bambang secara informal pada Minggu, 6 Juli 2025, dan menyampaikan bahwa pemberitaan telah keliru. Bambang menolak menanggapi secara informal.
> “Silakan klarifikasi di Polda saja. Proses hukum akan menguji siapa yang berbohong dan siapa yang punya bukti,” ujarnya tegas.
๐งพ Musdes Tak Pernah Terjadi, Warga Kehilangan Akses Informasi
Salah satu poin yang membuat warga geram adalah tidak pernah digelarnya Musyawarah Desa (Musdes) terkait pengelolaan lahan tersebut. Permintaan resmi telah diajukan berulang kali, namun tak pernah direspons serius oleh pihak desa.
Padahal, berdasarkan Permendagri No. 46 Tahun 2016, kepala desa wajib menyelenggarakan Musdes untuk setiap kegiatan yang menyangkut aset dan keuangan desa, terlebih jika menyangkut lahan dan hasil usaha bersama.
๐ฅ Apakah Ini Kasus Penyelewengan Terstruktur?
Sejumlah pihak mulai menyebut kasus ini sebagai potensi penyelewengan yang sistemik dan terstruktur, mengingat terjadinya pembiaran, minimnya transparansi, dan dugaan bahwa ada aliran dana yang tidak pernah dicatat secara resmi.
Hingga berita ini diterbitkan, Polda Riau telah menerima laporan resmi dari Bambang Keristian, disertai dokumen dan pernyataan saksi. Jika terbukti, kasus ini bisa menyeret lebih banyak pihak, termasuk perangkat desa lain yang turut mengetahui pengelolaan dana sawit tersebut.
๐ KESIMPULAN INVESTIGASI SEMENTARA:
1. Pernyataan Kepala Desa mengenai hasil kebun 1,5 juta rupiah per bulan secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa lahan tersebut memang dikelola.
2. Tidak ada laporan resmi atau Musdes terbuka yang menjelaskan aliran dana dan status kepemilikan lahan secara transparan.
3. Warga berulang kali meminta penjelasan namun tidak ditanggapi secara formal, sehingga memilih jalur hukum.
4. Kuasa hukum warga memiliki bukti tertulis dan dokumentasi pengakuan, yang kini telah dilaporkan ke aparat penegak hukum.
๐ฃ Redaksi mengajak aparat penegak hukum dan Dinas PMD Kuansing turun tangan untuk memastikan keterbukaan informasi publik dan perlindungan terhadap hak warga desa.
Oleh Tim Redaksi Investigasi